Jayabaya antara mistik dan realita

 Sri Mapanji Jayabhaya, Varmesvara, atau Jayabhaya, (Jawa: Ratu Joyoboyo) adalah Raja Jawa dari Kediri-Dhaha, Jawa Timur. Maharaja Jayabhaya (memerintah tahun 1135-1157) bergelar lengkap: Shri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Shri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Beberapa manuscript menyebutkan bahwa Jayabhaya adalah putra Raja Widarba Prabhu Gendrayana (vide: Prof Slamet Muljana “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968). Yogyakarta: LKIS )

Legacy:
Kredit Maharaja Jayabhaya adalah penyatuan kembali kerajaan Kediri-Dhaha dan Janggala pasca perpecahan akibat kematian pendahulunya Airlangga.

Raja Jayabhaya dikenal dengan pemerintahan adil dan makmur, dianggap sebagai inkarnasi Dewa Hindu Wisnu (Vishnu). Maharaja Jayabhaya melambangkan pola dasar Ratu Adil. Raja yang adil terlahir kembali di zaman kegelapan penderitaan "Jaman Edan" (Era Kegilaan) untuk mengembalikan Jaman Raharja: keadilan sosial, ketertiban, dan keharmonisan di dunia. Masyarakat Jawa percaya pada siklus sejarah (vide: cakra manggilingan). Masa kemakmuran (Jaman Raharja) bergantian mengikuti era penderitaan (Jaman edan) lantas siklus kembali ke era kemakmuran (Jaman Raharja).

Kerajaan Jayabhaya disebut juga dengan nama Widarba. Artinya seribu kota, berlokasi di Pamenang (Kabupaten Kediri modern). Terjalin di antara fakta dan mitos, ada catatan bahwa ayahnya Gendrayana, diklaim sebagai keturunan Pandawa. Sebagai putra Yudhayana: anak dari Parikshit, cucu Abhimanyu dan, cicit Arjuna dari Wangsa Pandawa. Dari permaisuri Dewi Sara lahir keturunan semuanya putri; yaitu Dewi Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti. Ratu Dewi Jayaamijaya menikah dengan Raja Astradarma. Sedangkan Dewi Pramesti dinikahi Raja Yawastina dan melahirkan Anglingdarma, Raja Malawapati.

Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri-Dhaha
(disebut juga sebagai Panjalu). Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144) serta Kakawin Bharatayudha (1157).

Prasasti Hantang juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini dibuat sebagai piagam pengesahan anugerah bagi penduduk desa Ngantang yang setia pada Kerajaan Kediri selama perang melawan Kerajaan musuh Jenggala. Dari prasasti diketahui Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Jenggala kemudian mempersatukannya kembali dengan Kediri. Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam Kakawin Bharatayudha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada Tahun 1157.

Jayabhaya tercatat sebagai sebuah nama besar dalam khasanah ingatan masyarakat Jawa. Nama Jayabhaya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam bahkan sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa juga menyinggung eksistensi Ratu gung Binatara Prabu Jayabaya.

Ramalan:
Pujangga Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsita sering disebut sebagai penulis naskah Ramalan Jayabhaya (RJ), karena biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya. Pada kenyataannya naskah-naskah RJ pada umumnya bersifat anonim.

Tokoh Jayabhaya identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Beberapa naskah berisi RJ seperti: Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya dll. Tersebut dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman Aji Saka s/d datangnya hari Kiamat. Ditilik nama guru Jayabaya termaksud dapat diketahui bahwa naskah serat Musasar ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Jawa. Sayang tidak diketahui secara pasti, siapa penulis RJ. Meskipun sudah jadi kebiasaan bagi masyarakat waktu itu untuk mematuhi ucapan seorang tokoh besar. Maka penulis naskah lantas mengatakan, bahwa ramalannya merupakan ucapan langsung Prabu Jayabaya, raja besar Kediri.

RJ adalah ramalan tentang keadaan Nusantara di suatu masa pada masa datang. RJ menyebut bahwa akan datang satu masa penuh bencana.Gunung-gunung meletus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai meluap. Akan terjadi masa dengan penderitaan; masa penuh kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian. Masa orang-orang licik berkuasa dan orang-orang baik akan tertindas. Namun pasca masa terberat akan datang zaman baru. Zaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan “Zaman Keemasan Nusantara”. Namun zaman baru itu akan datang setelah munculnya Ratu Adil, atau Satria Piningit.

Ramalan Jayabhaya yang konon ditulis ratusan tahun yang lalu, oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Prabu Jayabaya (1135-1159). Ramalannya kelihatannya begitu mengena dan bahkan masih diperhatikan banyak orang ratusan tahun setelah kematiannya. Bahkan Ir. Haji Soekarno al Bung Karno (BK) Presiden indonesia pertama pernah
menyitir RJ dalam pledoi landraat, “Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil? Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat ? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan. Sebagaimana orang yang dalam kegelapan, tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap "Kapan, kapankah Matahari terbit?". (Soekarno, “Indonesia Menggugat”, 1930)

Bahkan RJ cukup fenomenal, banyak ramalannya yang bisa ditafsirkan mendekati keadaan sekarang-kontemporer:
1. Datangnya bangsa berkulit pucat yang membawa tongkat yang bisa membunuh dari jauh dan bangsa berkulit kuning dari Utara (zaman penjajahan ).
2. "kreto mlaku tampo jaran", "Prau mlaku ing nduwur awang-awang", kereta berjalan tanpa kuda dan perahu yang berlayar di atas awan (mobil dan pesawat terbang?)
3. Datangnya zaman penuh bencana di Nusantara (Lindu ping pitu sedino, lemah bengkah, Pagebluk rupo-rupo ), gempa tujuh kali sehari, tanah pecah merekah, bencana macam-macam.
4. Dan ia bahkan (mungkin) juga meramalkan global warming, "Akeh udan salah mongso", datangnya masa di mana hujan salah musim.

Namun jika ditelisik, naik turunnya peradaban sebenarnya sudah banyak juga dianalisis para ilmuwan, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Diantaranya Ibnu Khaldun (Muqaddimah, 1337, Wikipedia: Ibn Khaldun), Gibbon (Decline and Fall, 1776), Toynbee (melalui bukunya A Study of History), atau Jarred Diamond. Intinya, manusia atau bangsa bisa berubah. Manusia bisa lupa dan sebaliknya juga bisa belajar. Bangsa bisa bangkit, hancur, dan bisa juga bangkit lagi. Banyak juga teori tentang manusia-manusia istimewa yang datang membawa perubahan. Tokoh yang disebut sebagai"Promethean"; diambil dari nama dewa Yunani Prometheus yang memberikan api (pencerahan) bagi manusia. Arnold Toynbee menamakannya Creative Minorities. Tapi mereka bukan sekadar “manusia-manusia ajaib”, melainkan orang-orang yang memiliki kekuatan dahsyat, yaitu kekuatan ilmu (scientific approach) dan kecintaan pada bangsanya, sesama manusia, dan pada Tuhannya. Sebagai contoh berapa banyak Hadith Nabi Muhammad tentang pentingnya ilmu “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”.

Kembali pada jaman kontemporer, simak lanjutan pidato BK: “Selama kaum intelek Bumiputra belum bisa mengemukakan keberatan-keberatan bangsanya, maka perbuatan-perbuatan yang dahsyat (pemberontakan) adalah pelaksanaan yang sewajarnya dari kemarahan-kemarahan yang disimpan “... terhadap usaha bodoh memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan mereka…"

Maka, kembali ke RJ, “Satria piningit, adalah orang-orang yang peduli pada bangsanya, berilmu tinggi, dan telah memutuskan untuk berbuat sesuatu. Merekalah dan hanya merekalah yang bisa melawan kehancuran, dan akhirnya membangkitkan peradaban. Di zaman kegelapan, selalu ada saja orang yang belajar. Diantara banyak orang lupa, selalu ada saja orang baik. Bahkan walau cuma satu orang. Kadang, kerusakan itu justru membakar jiwanya untuk berbuat sesuatu. Belajar, berjuang, berkorban. Seperti halnya Nabi Muhammad yang melihat bangsanya hancur oleh budaya jahiliyah para Kabilah. Atau seorang Soekarno yang melihat bangsanya diinjak-injak kumpeni Belanda kemudian Jepang. Orang orang seperti mereka lalu berjuang menyelamatkan bangsanya. Promethean, Ratu Adil yang mendatangkan zaman kebaikan.

Mungkin RJ bisa dipahami secara ilmiah, bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi. Juga mungkin karena Jayabhaya menyadari bahwa manusia bisa lupa, maka secara sengaja Raja Kediri ini menulis sebuah kitab peringatan agar manusia tidak lupa. Secara ilmiah, itu bisa dicatat sebagai satu tanda kearifan sang Prabu Jayabhaya. Mungkin, ini juga dorongan bagi manusia agar selalu berbesar hati, optimis. Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang enlightenment (Masa Kesadaran), masa Kebangkitan besar dan masa keemasan Nusantara.

Penutup:
Rangkaian serial Geopolitik Jawa Kuno diakhiri sampai disini. Jika ada waktu dan kesempatan, besar kemungkinan potongan sejarah Majapahit dan masuknya Islam akan disusun dalam uraian selanjutnya.

In sum, Jayabhaya turun tahta pada usia tua dan mencari kehidupan meditasi sebagai pertapa Hindu. Hikayat menyebut Jayabhaya ‘moksha’ (vide: naik Nirvana atau Sorga bersama tubuhnya) di desa Menang, Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri, karena dia adalah inkarnasi Vishnu. Sampai era modern situs ini masih dianggap sebagai ziarah suci menurut sistem kepercayaan Kejawen. Presiden Soekarno dan Soeharto pernah meditasi di Menang untuk mendapatkan legitimasi (vide: wangsit) sebagai ‘raja’, nemiliki kemampuan supranatural, mendapat berkah dan / atau kekuatan Jayabhaya. Wallahu alam bisawwab

Post a Comment

0 Comments