Pada awal Agustus 1949, Mohammad Natsir, ketua komisi untuk menyelesaikan masalah DI/TII, datang ke Bandung. Dia diutus Mohammad Hatta untuk membujuk S.M. Kartosoewirjo agar mengurungkan niat mendirikan Negara Islam atau Darul Islam. Hatta sendiri sudah membujuknya tapi tak berhasil. Sementara itu, pada 6 Agustus 1949, dia bertolak ke Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.
Sebelumnya, Kartosoewirjo bertemu Mohammad Hatta di Yogyakarta untuk membicarakan keadaan Jawa Barat setelah pasukan TNI hijarah akibat Perjanjian Renville; dan tidak mau ikut Negara Pasundan. Hatta memberi bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan oleh Republik.
"Kalau Kartosoewirjo ke Yogya minta begroting (anggaran), secara tidak resmi Bung Hatta memberi bantuan dalam bentuk makanan atau keperluan sosial untuk orang-orang yang di hutan," tulis Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan.
Natsir mengenal Kartosoewirjo sejak dia sekolah Algemene Midelbare School (AMS) di Bandung (1927–1930). Waktu Natsir belajar Islam pada Ahmad Hassan, ulama terkemuka dan pendiri Persatuan Islam (Persis), Kartosoewirjo yang tinggal di Garut sering datang mengunjungi Hassan.
Ahmad Hassan (duduk, kedua dari kiri), ulama terkemuka Jawa Barat dan pendiri Persatuan Islam (Persis). (Wikimedia Commons) |
"Di kediaman Hassan itulah Natsir bertemu, berkenalan, dan berdiskusi dengan Kartosoewirjo," tulis Lukman.
Natsir pun meminta Ahmad Hassan untuk menyampaikan suratnya kepada Kartosoewirjo. Suratnya ditulis di kertas berkepala surat Hotel Savoy Homann, tempatnya menginap.
"Surat yang ditulis tangan itu berisi permintaan Natsir agar Kartosoewirjo membatalkan rencana memproklamsikan Negara Islam, dan mengajak Kartosoewirjo kembali ke pangkuan Republik Indonesia," tulis Lukman.
Setelah melalui jalan berliku, Ahmad Hassan sampai di markas Kartosoewirjo di sekitar pegunungan Bayongbong. Namun, penjagaan begitu ketat. Tidak sembarang orang boleh menemui Kartosoewirjo.
Hassan pun diminta menunggu di suatu tempat, sekira dua ratus meter dari markas. Para pengawal Kartosoewirjo baru mengenali Hassan setelah sang ulama menunggu tiga hari, dan memperkenalkan diri, "Saya Hassan. Hassan Bandung."
Akibatnya, surat dari Natsir sampai ke Kartosoewirjo setelah Negara Islam Indonesia diproklamasikan pada 7 Agustus 1949.
"Surat Natsir terlambat sampai ke tangan Kartosoewirjo karena para pengawal Kartosoewirjo terlambat mengenali Ustaz Hassan. Padahal hubungan Natsir-Hassan-Kartosoewirjo sangat akrab," kata Lukman Hakiem, penulis buku biografi tokoh-tokoh Masyumi, kepada Ayobaca.online.
Selain itu, menurut buku Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, diduga Kartosoewirjo saat itu ragu-ragu dan bertanya-tanya kenapa surat Natsir ditulis di atas kertas Hotel Savoy Homann.
Akan tetapi, kata Natsir, kalaupun suratnya tidak terlambat sampai di tangan Kartosoewirjo, tetap tidak mudah meyakinkan pemimpin DI/TII itu.
"Kalau pada saat itu Kartosoewirjo mau mengalihkan langkahnya, masih bisa," kata Natsir.
Kartosoewirjo menitipkan surat balasannya untuk Natsir kepada Ahmad Hassan. Dalam suratnya, Kartosoewirjo mengatakan, "Sayang, imbauan itu terlambat tiga hari. Ludah tidak dapat saya jilat kembali." Artinya, Kartosoewirjo tidak dapat mencabut atau membatalkan proklamasi Negara Islam Indonesia.
Kartosoewirjo menjadi imam Negara Islam Indonesia selama 13 tahun. Pemerintah Indonesia mengerahkan operasi militer untuk menumpas DI/TII sampai Kartosoewirjo tertangkap oleh Kompi C Batalion 328/Kujang II Divisi Siliwangi pada 4 Juni 1962.
Pengadilan Mahkamah Militer menjatuhkan vonis mati kepada Kartosoewirjo. Dia dieksekusi mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 12 September 1962 –sumber lain tanggal 5 September 1962.
0 Comments