Pulau Bahasa Indonesia

Selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Riau-Lingga, Pulau Penyengat juga dikenal sebagai pusat tumbuh kembangnya kesusastraan Melayu dan bahasa Indonesia. 

Luas Pulau Penyengat tidak sampai 2 km persegi, berada di perbatasan Indonesia dan Singapura. Namun, pulau ini menjadi pusat kebudayaan Melayu dan tumbuh kembang bahasa Indonesia.

Pada awal abad ke-19, Pulau Penyengat terkenal sebagai pusat kesusastraan dan literatur. Bisa dibilang, pulau ini menjadi pusat kajian Melayu Islam.

"Bukan Melayu kalau belum ke Pulau Penyengat," kata Surjadi, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, dalam seminar daring berjudul "Warisan Budaya Pulau Penyengat, Tantangan, dan Peluang Pelestarian Serta Pengelolaannya" yang diadakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat.

Berkat dorongan kerabat istana, pulau yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga itu, tumbuh menjadi pusat kegiatan penulisan naskah Melayu. Naskah-naskah Melayu-Riau ditulis dan disalin ke dalam aksara Jawi.

Berbagai karya ditulis di pulau ini, di antaranya yang terkenal, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji (1809–1872). Karenanya Pulau Penyengat kerap disebut sebagai Pulau Bahasa.

Marsis Sutopo, arkeolog Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, mengatakan di sinilah bahasa dan sastra Melayu berkembang pesat, yang kemudian mendasari lahirnya bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional.

"Pulau Penyengat menjadi asal tumbuhnya bahasa Indonesia dan sastra Indonesia," kata Marsis.

Karya Terkenal

Jajat Burhanudin, sejarawan UIN Syarif Hidayatullah dalam Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia menjelaskan, Raja Ali Haji adalah sarjana terkemuka dari keluarga Kerajaan Riau-Lingga. Ayahnya, Engku Haji Ahmad juga banyak menghasilkan naskah.

Selain Gurindam Dua Belas, karya Raja Ali Haji yang terkenal di antaranya Syair Abdul Muluk dan Bustanul Katibin tentang risalah tata bahasa Melayu.

Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara menyebut karya sastra karangan Raja Ali Haji banyak yang berupa syair keagamaan dan kesejarahan, di antaranya Syair Hukum Nikah, Syair Hukum Fara’id, Syair Gemala Mestika Alam, dan Silsilah Melayu dan Bugis.

Sementara itu, Raja Ali Haji menulis Tuhfat al-Nafis bersama ayahnya pada 1866. Karya ini merupakan sastra sejarah yang mengamanatkan dilaksanakannya ajaran Islam dan adat istiadat Melayu.

Raja Ali Haji juga menulis tentang tatanegara dan nasihat untuk raja-raja, seperti Thamara al-Muhimmah Diyafah lil umara wal Kubara li Ahl al-Mahkama, Syair Nasihat, termasuk Gurindam Dua Belas.

Menurut Uka, melalui Thamara, Raja Ali Haji memberi petunjuk soal politik Islam kepada para raja Riau-Lingga, yang mengingatkannya pada Taj al-Salatin di Aceh dari abad ke-17.

“Tentu saja Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali menjadi sumber utama sebagian isi Thamara,” tulis Uka.

Selain Raja Ali Haji dan ayahnya, masih ada pengarang lain, seperti Raja Daud bin Raja Ahmad yang mengarang Syair Pangeran Syarif Hasyim dan Encik Kamariah yang menulis Syair Sultan Mahmud di Lingga.

Tak Mendapat Perhatian

Kendati bernilai tinggi, para sarjana Belanda tidak memperhatikan karya Raja Ali Haji, khususnya yang berisi kandungan Islam. Akibatnya, karya seperti Thamara berada di luar sistem pengetahuan masa kolonial.

“Padahal dalam karya itu ia melontarkan keinginan dan agenda yang kuat bagi restorasi politik Kerajaan Melayu,” tulis Jajat.

Menurut Jajat, sarjana Belanda memberikan perhatian besar hanya kepada karya yang isinya sejalan dengan kerangka kepentingan kolonial. Karya-karya Raja Ali Haji yang diterbitkan orang Belanda misalnya, Syair Abdul Muluk, Gurindam Dua Belas, dan Bustanul Katibin.

“Pemerintah Belanda dan para sarjana Melayu, berpusat di Tanjung Pinang, juga berkonsentrasi pada pengembangan kesusastraan dan bahasa Melayu asli,” tulis Jajat.

Raja Ali Haji tidak menyebut dua karyanya dalam korespondensi dengan sahabatnya dari Jerman, Von de Wall. “Dia tampaknya menyadari bahwa karya-karya itu tidak akan dan dalam faktanya memang tidak menarik perharian para sarjana Belanda untuk penelitian mereka,” tulis Jajat.

Karenanya karya-karya Raja Ali Haji hampir tidak dikenal di lingkungan masyarakat muslim. Padahal, Thamara dan masterpiece-nya, Tuhfah al-Nafis, merupakan karya yang penting tentang Islam dan budaya Melayu.  

Naskah Klasik Tersebar

Khairunnas Jamal dan Idris Harun, dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, menyebut di luar karya-karya itu, masih ada ribuan naskah Melayu.

“Hampir sama dengan kerajaan Melayu lainnya, Kerajaan Lingga mengembangkan tradisi tulis menulis yang sangat baik, untuk kepentingan transmisi pengetahuan, baik dalam bidang sastra maupun keagamaan,” tulisnya dalam “Inventarisasi Naskah Klasik Kerajaan Lingga” yang terbit di jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, Vol. 11, No.1 Januari–Juni 2014.

Keberadaan naskah di bekas wilayah Kerajaan Lingga tersebar di empat tempat. Pertama, Masjid Raya Pulau Penyengat menyimpan naskah-naskah yang lebih banyak berkaitan dengan kajian keislaman. Salah satunya naskah Al-Qur’an tulisan tangan berusia ratusan tahun.

Kedua, Masjid Sultan Lingga di Daik, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Wilayah ini pernah menjadi ibu kota Kerajaan Riau-Lingga sebelum pindah ke Pulau Penyengat. Awalnya koleksi milik masyarakat yang dititipkan, di antaranya berkaitan dengan keagamaan. Belakangan, pihak Museum Linggam Cahaya meminta pengelola masjid untuk memindahkan naskah-naskah itu ke museum milik pemerintah Kebupaten Lingga.

Ketiga, Museum Linggam Cahaya di Daik menyimpan naskah-naskah bertema pengobatan, keagamaan, dan sastra, dalam berbagai bahasa, yaitu Arab, Arab-Melayu, dan Tamil.

Keempat, keturunan keluarga besar kerajaan, seperti Datuk Tengku Husin dan Raja Malik. Koleksi naskah Tengku Husin lebih banyak bertema keislaman, seperti tafsir, tasawuf, dan fara’id (hukum waris). Sedangkan naskah yang disimpan Raja Malik kebanyakan bertema keagamaan dan pengobatan.

Konon, masih banyak naskah Melayu klasik yang disimpan masyarakat Pulau Penyengat dan Daik. Mereka tidak menyerahkannya kepada instansi terkait bukan karena ekonomi, namun sejarah keluarga.

Post a Comment

0 Comments