Lawak Dono Bukan Hanya Untuk Terbahak-Bahak

Twitter/@WanoDesester
Wahyu Sardono atau Dono beken sebagai komedian grup Warkop DKI. Dalam film, dia sering tampil sebagai lelaki bodoh dengan nasib malang dan objek penderita bagi dua kawannya, Kasino dan Indro. Tapi di sejumlah penampilan lainnya, dia justru melontar humor bermuatan kritik sosial. Misalnya saja ketika menyanyikan lagu “Aku Anak Desa” dalam film Gengsi Dong.

Di luar film, Dono lebih terang lagi dalam melempar kritik sosial. Dia melakukannya lewat sejumlah artikel di media massa. Dua di antaranya sempat viral belakangan ini. Yang pertama tentang kisah polisi lalu-lintas bernama Sertu Jumadi. Yang kedua perihal polah kelas menengah di Indonesia. Selain dua artikel tersebut, masih ada beberapa artikel lainnya. Dia beberapa kali menulis di media massa tentang lawak dan masalah sosial.

"Dia sempat ngomong ke saya, enakan nulis artikel di koran dibanding novel. Novel nulisnya lama, tapi royaltinya sedikit dan lama (dapatnya, red.). Nulis artikel di koran, pendek-pendek tapi duitnya banyak dan cepet dapatnya," kata Andika Aria Sena, anak almarhum Dono, kepada Historia. 

Artikel-artikel karya Dono meruntuhkan semua citranya dalam film. Dalam artikel, Dono tampil dengan gagasan segar dan cerdas. Untuk awalan, mari lihat artikel “Komedian itu Dewa Kecerdasan” di Kompas, 4 April 1994. Di sini Dono mengulas kedudukan humor di Indonesia. “Secara sosial mungkin humor masih ditempatkan pada kedudukan bawah, sebab para komedian banyak yang berlatar belakang sosial yang tidak tinggi,” tulis Dono.

Tingkat Kecerdasan

Dono melihat masyarakat masih memperlakukan humor sebatas acara pelepas tawa saja. Contohnya ketika masyarakat tertawa terbahak-bahak menyaksikan polah pembantu rumah tangga dalam pertunjukan grup komedi Srimulat. Sering kali pembantu rumah tangga tampil dengan berbagai kesialannya. Mereka tak punya daya apa-apa di hadapan majikan.

Jika banyak orang melihat adegan itu sebatas kekonyolan, Dono tidak begitu. Dia merasa ada persoalan sosial dalam adegan pembantu rumah tangga. “Bagaimana pun pembantu tetap pembantu. Ia tak mampu bermobilisasi ke atas. Tetapi apakah ada yang memahami itu sebagai fenomena sosial? Rasanya hanya terbatas bagaimana terbahak-bahak saja...” lanjut Dono.

Dono menduga keadaan ini muncul karena masyarakat melihat para komedian berasal dari kelas sosial terbawah di masyarakat. “Status sosial tampaknya menjadi penting dalam kehidupan kita. Siapa yang bicara dan bukan apa yang dibicarakan, masih menjadi gaya hidup kita,” terang Dono.

Dengan cara pandang seperti itu, masyarakat bersikap menutup diri terhadap kemungkinan lain dari humor. Bagi mereka, humor adalah pemancing tawa. Tidak lebih, tidak kurang. Sehingga permasalahan sosial yang coba disampaikan komedian lewat humor sama sekali tidak tertangkap. Ini tak hanya terjadi pada penonton dari kalangan bawah, tapi juga kalangan atas.

Dono bercerita suatu kali Warkop DKI pernah manggung di hotel mewah. Dia melontar humor tentang tukang koran di pinggir jalan. Tukang koran itu menjajakan koran dengan berteriak, “Waspada… Waspada! Angkatan Bersenjata! Kompas! Kedaulatan Rakyat!” Karena teriakan itu, tukang koran ditangkap anggota Koramil.

Pada akhir acara, seseorang mendatangi Dono dan bertanya. “Mas, lucuannya tadi apa sih maksudnya?” Dono hanya mengelus dada.    

Di bagian lain artikelnya, Dono juga mengkritik sikap sekelompok orang yang menuntut komedian terlalu banyak. Kelompok ini sudah mampu melihat humor lebih dari sekadar tawa. Tapi di sisi lain, mereka tak menyadari kemampuan bangsanya.

Kelompok ini meminta komedian agar membawakan acara komedi dengan naskah. Bagi mereka, naskah adalah patokan mutlak humor kritis dan cerdas. Dono tidak setuju dengan pandangan ini.

“Eee, tunggu dulu! Bangsa ini sudah punya kebiasaan membaca atau belum? Bagaimana mau menulis kalau membaca saja belum menjadi santapan setiap hari?” ungkap Dono.

Sebagai penguat argumennya, Dono mengisahkan pengalaman ketika Warkop DKI membuka lowongan bagi penulis naskah humor (gag writer). Iming-iming honornya lumayan. Kiriman naskah pun berdatangan. Tapi ternyata banyak yang hanya plagiat dari majalah dan menonjolkan unsur slapstick (ejekan fisik). Sama sekali tidak orisinil dan merangsang orang berpikir. Adanya naskah tak menjamin humor jadi kritis dan cerdas.

Pemakaian naskah humor juga terbentur kebiasaan komedian. Menurut Dono, banyak komedian memandang naskah hanya sebagai patokan urutan cerita. Akibatnya komedian sering berimprovisasi di luar konteks naskah.

Pelawak Setengah Dewa

Dalam artikel “Humor Berkelas adalah Mengkritik” terbit di Kompas, 22 Maret 1996, Dono menguraikan munculnya pembagian lawak kelas atas dan kelas bawah. Menurutnya, pembagian ini nyaris tak ada pada zaman grup Srimulat dan Kwartet Jaya (Ateng, Iskak, Eddy Sud, dan Bing Slamet, red.) sering tampil pada 1970-an.

“Srimulat sebagai contoh. Saat mereka masuk Jakarta, dikelompokkan sebagai grup lawak tradisional. Mereka menampilkan lucuan yang sederhana, dan memang benar-benar membuat orang tergelak,” terang Dono.

Tapi memasuki 1990-an, situasinya berubah. Dono melihat masyarakat berkembang semakin kritis. Saat bersamaan, lawakan Srimulat mengalami kejenuhan dan itu-itu saja. Masyarakat pun menilai lawakan Srimulat bukan hanya tak lucu lagi, tapi juga kurang kritis.

 

Post a Comment

0 Comments